Tahapan Persidangan Perkara Perdata
1. Tahap Pertama, UPAYA DAMAI (MEDIASI)
Secara umum, mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri tersebut yang tidak menangani perkaranya. Penggunaan mediator hakim dan penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya. Proses mediasi pada dasarnya tidak terbuka untuk umum, kecuali para pihak menghendaki lain. Majelis Hakim akan berusaha menasehati para pihak untuk berdamai.
2. Tahap Kedua, Pembacaan Gugatan/Permohonan
Bila upaya damai tidak berhasil, Majelis Hakim akan memulai pemeriksaan perkara dengan membacakan gugatan/permohonan Penggugat/Pemohon. Gugatan harus diajukan dengan surat gugat yang ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Gugatan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, kemudian akan diberi nomor dan didaftarkan dalam buku Register setelah penggugat membayar panjar biaya perkara, yang besarnya ditentukan oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR). Bagi Penggugat yang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara, harus di buktikan dengan surat keterangan dari Kepala Desa yang bersangkutan dan dapat mengajukan gugatannya secara prodeo. Penggugat yang tidak bisa menulis dapat mengajukan gugatannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat gugatan tersebut (pasal 120 HIR).
3. Tahap Ketiga, Jawaban Tergugat/Termohon
Kesempatan Tergugat/Termohon untuk menjawab gugatan/permohonan Penggugat/Pemohon, baik secara lisan maupun tertulis. Jawaban atas gugatan adalah satu tahapan dalam proses pemeriksaan perkara perdata dan dilakukan setelah gugatan dibacakan Penggugat dalam persidangan. Jawaban atas gugatan Penggugat merupakan upaya bagi Tergugat untuk mempertahankan hak- haknya terhadap dalih dan dalil Penggugat. Tidak jauh berbeda dengan membuat gugatan, bagaimana bentuk dan susunan dari jawaban gugatan dan eksepsi dalam perkara perdata tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan, kecuali hanya disebutkan bahwa gugatan harus memenuhi syarat formal dan materil. Pada dasarnya, jawaban bukanlah suatu kewajiban Tergugat di persidangan, melainkan adalah hak Tergugat untuk membantah dalil-dalil yang Penggugat sampaikan dalam gugatannya. Hakikatnya pemberian hak bagi Tergugat mengajukan jawaban ini sesuai dengan asas audi alteram partem atau auditur et altera pars, yaitu pemberian hak yang sama kepada Tergugat untuk mengajukan pembelaan kepentingannya.
4. Tahap Keempat, Replik
Replik yaitu jawaban Penggugat baik tertulis maupun lisan terhadap jawaban Tergugat atas gugatannya. Replik diajukan Penggugat untuk meneguhkan gugatannya, dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan Tergugat dalam jawabannya. Replik merupakan pemberian hak kepada pihak Penggugat untuk menanggapi jawaban yang diajukan oleh Tergugat.
5. Tahap Kelima, Duplik
Duplik merupakan jawaban Tergugat terhadap replik yang diajukan oleh pihak Penggugat. Sama dengan replik, duplik ini pun dapat diajukan tertulis maupun lisan. Duplik diajukan Tergugat untuk mempertahankan jawaban gugatan atau eksepsi yang telah diajukan sebelumnya, yang secara umum berisi bantahan terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Tergugat dalam duplik dapat saja membenarkan dalil atau tuntutan yang diajukan oleh Penggugat dalam replik, namun tidak pula menutup kemungkinan Tergugat menyampaikan dalil-dalil baru yang dapat menguatkan bantahan atas replik. Duplik biasanya memuat bantahan atau pembelaan atas dalil-dalil atau pernyataan yang diajukan oleh penggugat dalam replik, yang tentunya disertai dengan uraian bukti-bukti yang dapat menguatkan bantahan atau pembelaan tersebut dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang telah dibuat dalam jawaban gugatan atau eksepsi.
6. Tahap Keenam, Pembuktian
Pada tahap ini baik Penggugat/Pemohon akan dimintakan bukti untuk menguatkan dalil-dalil gugatan/permohonannya dan Tergugat/Termohon akan dimintakan bukti untuk menguatkan bantahannya. Pembuktian dalam hukum perdata adalah proses untuk membuktikan adanya fakta atau kejadian yang menjadi dasar dalam suatu perkara perdata. Pembuktian ini bertujuan untuk menguatkan atau melemahkan klaim atau dalil yang diajukan oleh salah satu pihak dalam perkara perdata. Berdasarkan pasal 1866 KUH Perdata/pasal 164 HIR, alat bukti yang diakui dalam perkara perdata terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Biasanya Penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk mengajukan pembuktian berupa surat, setelah itu pihak Tergugat. Dalam hal alat bukti saksi ada dua, yaitu saksi biasa dan saksi ahli. saksi biasa adalah memberikan kesaksian berdasarkan apa yang ia lihat, dengar, dan alami sendiri, sedangkan saksi ahli memberikan kesaksian berdasarkan keahlian yang ia miliki. Adapun pihak yang tidak boleh menjadi saksi, yaitu:
a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari salah satu pihak yang bersengketa.
b. Istri atau suami dari pemohon Banding atau Penggugat meskipun sudah bercerai.
c. Anak yang belum berusia 17 tahun.
7. Tahap Ketujuh, Kesimpulan
Setelah persidangan menyelesaikan pembuktian para pihak, maka persidangan akan memsuki tahap Kesimpulan. Kesimpulan atau konklusi perkara perdata, di dalam kasus perdata, setelah adanya surat gugatan, eksepsi, replik dan duplik di persidangan terakhir menjelang putusan dijatuhkan, masing-masing pihak baik Tergugat ataupun Penggugat membuat surat kesimpulan dalam kasus perdata tersebut yang berisi tentang kesimpulan dari proses persidangan yang dijalankan. Kesimpulan perkara perdata dibuat oleh kedua belah pihak yang masing-masing akan menjelaskan kesimpulan dengan bahasa dan versi mereka baik Penggugat ataupun Tergugat yang isinya menganalisis dalil-dalil gugatannya atau dalil-dalil jawabannya melalui pembuktian yang didapatkan selama persidangan. Kesimpulan ini akan menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan bilamana analisis tersebut cukup rasional dan beralasan hukum.
8. Tahap Kedelapan, Musyawarah Majelis
Musyawarah Majelis Hakim adalah rapat perundingan yang berisi tukar pendapat hukum antar Hakim pada suatu Majelis dalam mendapatkan kesimpulan putusan terhadap perkara yang sedang diperiksa. Dalam membuat putusan, seorang hakim sepatutnya dalam menimbang dan memutus suatu perkara dengan memperhatikan asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan agar putusan yang dikeluarkan menjadi putusan yang ideal.
9. Tahap Kesembilan, Pembacaan Putusan
Setelah selesai musyawarah Majelis Hakim, tahap selanjutnya dibacakan putusan oleh Majelis Hakim. Setelah dibacakan putusan tersebut, Penggugat dan Tergugat berhak mengajukan upaya hukum banding dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan dibacakan. Apabila Penggugat/ Tergugat tidak hadir saat dibacakan putusan, maka akan disampaikan isi/amar putusan itu kepada pihak yang tidak hadir, dan putusan baru berkekuatan hukum tetap setelah 14 hari amar putusan diterima oleh pihak yang tidak hadir itu.
JAWABAN TERGUGAT
Padang, 6 November 2024
Nomor : 0116/BCP/2020
Kepada Yang Terhormat,
Majelis Hakim Pengadilan negeri Jakarta Pusat
Di Jl. Bungon Besar no.17, Jakarta Pusat
Perihal : Eksepsi atas gugatan wanprestasi penggugat
Bersama ini, kami hendak mengajukan Eksepsi atas gugatan yang diajukan oleh Penggugat (PT Nusa Dua) dengan dasar-dasar sebagai berikut:
I. Eksepsi Kompetensi Absolut
1. Gugatan Tidak Kompeten untuk Diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
- Penggugat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sedangkan obyek sengketa berupa tanah dan bangunan yang menjadi jaminan terletak di Deli Serdang. Sesuai dengan Pasal 118 HIR, gugatan perdata yang terkait dengan obyek jaminan harus diajukan di tempat kedudukan obyek jaminan berada, yakni Pengadilan Negeri Deli Serdang.
- Dengan demikian, Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini tidak memiliki kompetensi absolut untuk memeriksa dan mengadili perkara ini.
II. Eksepsi Kompetensi Relatif
2. Tempat Kedudukan Para Pihak Tidak Sesuai
- Tergugat II (Iming) berdomisili di Jakarta Selatan, dan Tergugat III (Novy Sundary) berdomisili di Surabaya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 118 HIR, gugatan harus diajukan sesuai dengan domisili Tergugat. Dalam hal ini, gugatan yang diajukan di Jakarta Pusat tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata.
III. Eksepsi Gugatan Prematur
3. Gugatan Diajukan Sebelum Upaya Perdamaian (Mediasi) Ditempuh
- Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, setiap perkara perdata wajib melalui tahapan mediasi sebelum dilanjutkan ke persidangan. Penggugat tidak mencantumkan bukti bahwa telah dilakukan mediasi, sehingga gugatan ini diajukan secara prematur dan tidak memenuhi syarat formal.
IV. Eksepsi Obscuur Libel
4. Gugatan Tidak Jelas (Obscuur Libel)
- Gugatan Penggugat tidak memuat uraian yang jelas terkait dengan dasar perhitungan bunga dan denda keterlambatan. Hal ini bertentangan dengan asas kepastian hukum (Pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) yang mengharuskan gugatan memuat uraian yang jelas dan terperinci.
- Penggugat menyebutkan adanya perjanjian No: 21/I/2018 tanpa melampirkan salinan perjanjian sebagai bukti yang sah. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan atas dasar gugatan yang diajukan.
V. Eksepsi Wanprestasi yang Tidak Terbukti
5. Penggugat Tidak Dapat Membuktikan Adanya Tindakan Wanprestasi
- Penggugat menyebutkan adanya tindakan wanprestasi, namun tidak memberikan bukti yang cukup terkait somasi yang telah dilakukan. Penggugat hanya menyatakan dua kali somasi, tanpa melampirkan tanggal pengiriman dan bukti penerimaan oleh Tergugat I.
- Selain itu, Tergugat I sudah melakukan pembayaran sebagian sebesar Rp100.000.000 yang tidak disebutkan oleh Penggugat dalam gugatannya, sehingga perhitungan kerugian yang diajukan tidak akurat.
VI. Permohonan (Petitium Eksepsi)
Berdasarkan uraian di atas, kami memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar berkenan memutuskan sebagai berikut:
1. Mengabulkan eksepsi Para Tergugat untuk seluruhnya
2. Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini (kompetensi absolut);
3. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard) karena prematur dan obscuur libel;
4. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam proses hukum ini.
Apabila Majelis Hakim yang mulia memiliki pertimbangan lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya berdasarkan asas Ex Aequo Et Bono.
Demikian surat eksepsi ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kebijaksanaannya, kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, [Tanggal Eksepsi]
Hormat Kami,
Kuasa Hukum Tergugat,
[Nama Kuasa Hukum]
[Advokat di Firma Hukum]
---
Surat ini dapat disesuaikan lebih lanjut sesuai dengan fakta dan dokumen yang ada. Apabila ada informasi tambahan atau perubahan yang ingin Anda lakukan, silakan beri tahu saya.
Komentar
Posting Komentar